Pemerolehan bahasa
kedua memiliki kesinambungan dengan pemerolehan bahasa pertama. Istilah
pemerolehan bahasa kedua adalah pemerolehan yang bermula pada usia 3 atau 4
tahun. Pemerolehan bahasa kedua
merupakan hal yang penting bagi tiap individu untuk bisa berinteraksi dengan
baik di lingkungannya. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia
bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga. Pengenalan/ penguasaan bahasa Indonesia dapat
terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar. Proses pemerolehan terjadi secara alamiah,
tanpa sadar, melalui interaksi tak formal dengan orang tua dan/atau teman
sebaya, tanpa bimbingan.
A.
Prinsip
Menurut Barcroft
terdapat lima prinsip dalam pemerolehan bahasa kedua, diantaranya:
a.
Present
new words frequently and repeatedly in input.
The
more frequently language learners are exposed to foreign vocabulary; the more
likely they are to remember it. Studies suggest that most learners need between
5-16 'meetings' with a word in order to retain it. Every word and phrase must
be correctly identified multiple times to obtain the highest score, while the
variety of exercises and activities prevents this repetition from being boring.
b.
Use
meaning-bearing comprehensible input when presenting new words.
In
order for learners to successfully make the association between a foreign
language word and its meaning, that meaning must be conveyed in a
comprehensible manner. One method for making foreign terms comprehensible and
thus promoting vocabulary learning is to present each word in a variety of
ways.
c.
Limit
forced output during the initial stages of learning new words.
Forcing
language learners to rush into sentence formation can interfere with vocabulary
learning during the beginning stages of acquiring a new language. Instead,
learners should be given time to absorb the meanings of individual words at
their own pace before being required to use them in a larger context. Language
learners who take that time are far more likely to use the words correctly when
they do choose to form sentences.
d.
Limit
forced semantic elaboration during the initial stages of learning new words.
In
addition to not forcing beginning language learners to immediately produce
whole sentences, a vocabulary program should also avoid other kinds of
elaboration that might produce negative effects on the learning of new words.
Some learners may find it distracting or confusing if they are asked to perform
other tasks at the same time that they are trying to commit new words to
memory.
e.
Progress
from less demanding to more demanding vocabulary-related activities.
Vocabulary
learning is most effective when learners start off with a small group of words,
then gradually add more terms as the first ones are mastered.
Kesimpulannya adalah pada saat anak-anak
memperoleh kosakata baru yang masih belum mereka kenal, kata tersebut harus
sering dan diberikan secara berulang-ulang supaya masuk ke dalam memori jangka
panjang mereka. Hal tersebut dimaksudkan supaya mereka dapat mengingat dan
menguasai lebih banyak kata yang masih terdengar asing.
B.
Teori
Bahasa
kedua dapat didefinisikan berdasarkan urutan, yakni bahasa yang diperoleh atau dipelajari
setelah anak menguasai bahasa pertama (B1) atau bahasa ibu. Pemerolehan bahasa,
sebagaimana pembelajaran bahasa, pun dapat dilihat dari beberapa teori, yakni
teori akulturasi, teori akomodasi, teori wacana, teori monitor, teori
kompetensi, teori hipotesis universal, dan teori neurofungsional.
1.
Teori Akulturasi
Akulturasi adalah proses penyesuaian
diri terhadap kebudayaan yang baru (Brown, 1987:129). Teori ini memandang
bahasa sebagai ekspresi budaya yang paling nyata dan dapat diamati dan bahwa proses
pemerolehan baru akan terlihat dari cara saling memandang antara masyarakat B1
dan masyarakat B2. Walaupun mungkin tidak begitu tepat, teori ini dapat
dipergunakan untuk menjelaskan bahwa proses pemerolehan B2 telah dimulai ketika
anak mulai dapat menyesuaikan dirinya terhadap kebudayaan B2, seperti
penggunakan kata sapaan, nada suara, pilihan kata, dan aturan-aturan yang lain.
Dalam teori ini, jarak sosial dan jarak psikologis anak sangat menentukan
keberhasilan pemerolehan.
2.
Teori Akomodasi
Teori memandang B1 dan B2 misalnya,
sebagai dua kelompok yang berbeda. Teori ini berusaha menjelaskan bahwa
hubungan antara dua kelompok itu dinamis.
3.
Teori Wacana
Teori ini sangat sesuai untuk
diterapkan dalam konteks pembicaraan ini. Pemerolehan bahasa dilihat dari segi
bagaimana cara anak menemukan makna potensial bahasa melalui keikutsertaannya
dalam komunikasi. Cherry (via Ellis, 1986:259) menekankan pentingnya komunikasi
sebagai upaya pengembangan kaidah struktur bahasa.
4.
Teori Monitor
Teori dari Krashen (1977) ini
memandang pemerolehan bahasa sebagai proses konstruktif kreatif. Monitor adalah
alat yang digunakan anak untuk menyunting performansi (penampilan verbal) berbahasanya.
Monitor ini bekerja menggunakan kompetensi yang”dipelajari”.
5.
Teori Kompetensi Variabel
Teori ini melihat bahwa pemerolehan
B2 dapat direfleksikan dan bagaimana bahasa itu digunakan. Produk bahasa
terdiri atas produk terencana (seperti menirukan cerita atau dialog) dan tidak terencana
(seperti percakapan sehari-hari).
6.
Teori Hipotesis Universal
Teori ini berkeyakinan bahwa
terdapat kesemestaan linguistik yang menentukan jalannya pemerolehan B2.
7.
Teori Neurofungsional
Pemerolehan bahasa berkaitan erat
dengan sistem syaraf, terutama area Broca (area ekspresif verbal) dan Wernicke
(area komprehensi). Meskipun demikian, area asosiasi, visualisasi, dan nada tuturan
juga berperan. Dengan demikian, pemerolehan bahasa sebenarnya juga melibatkan
otak kanak dan kiri.
Kesimpulannya adalah bahasa merupakan sumber ekspresi
budaya yang paling nyata dan dapat diamati dalam proses pemerolehan bahasa. Proses
pemerolehan bahasa telah dimulai ketika anak mulai dapat menyesuaikan dirinya
terhadap kebudayaan bahasa, seperti penggunakan kata sapaan, nada suara,
pilihan kata, dan aturan-aturan yang lain.
C.
Praktek
Praktek
dalam pemerolehan bahasa kedua, dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yang
ada, diantaranya:
a.
The Grammar Translation Approach
Pendekatan
ini dulunya dilakukan untuk mengajarkan bahasa latin, namun berikutnya
digunakan untuk mengajarkan berbagai macam bahasa. Guru yang menggunakan
pendekatan ini mengajarkan bahasa kedua dengan bahasa pertama (mother tongue).
Bahasa target hanya digunakan beberapa kali saja. Daftar kosakata menjadi menu
utama yang harus dihafal oleh peserta didik, lalu guru mengelaborasinya dengan
grammar. Biasanya bahan yang diambil untuk pembahasan grammar adalah dari
teks-teks yang sulit. Peserta didik lebih memfokuskan diri kepada analisis
kalimat dibandingkan kepada arti dalam teks tersebut.Cara melatih pemahaman
peserta dalam menggunakan bahasa kedua adalah melalui penerjemahan
(translation) per-kalimat. Pronounciation dalam pendekatan ini tidak begitu
ditekankan.
b.
The Direct Approach
Kemunculan
pendekatan ini sebagai respon dari The Grammar Translation Approach yang
dipandang kurang lengkap dalam proses pengajaran bahasa kedua. Dalam The Direct
Approach, guru hanya menggunakan bahasa kedua yang diajarkan saja sebagai
pengantar. Bahasa pertama tidak digunakan di dalam kelas. Guru biasanya
mengawali pembelajaran dengan melakukan percakapan dan memperlihatkan gambar.
Disamping itu, grammar diajarkan secara terintegral diambil dari ekspresi
bahasa yang sedang dibicarakan. Teks tidak dianalisis secara grammar, melainkan
secara arti. Pemahaman budaya diperkenalkan pula sebagai bagian yang sangat
penting dalam pembelajaran bahasa kedua.
c.
The Reading Approach
Pendekatan
ini lebih ditujukan untuk kepentingan akademis, atau dengan kata lain untuk
tujuan tertentu. Selain itu, The Reading Approach lebih menekankan kepada
pemberdayaan kemampuan reading para peserta didik. Di samping, untuk melacak
sejarah bagaimana bahasa tersebut digunakan. Grammar diajarkan saat memang
berhubungan dan diperlukan untuk memahami isi teks yang sedang di baca, selain
itu kefasihan (fluency) dalam membaca menjadi salah satu faktor penting yang diajarkan.
Kemampuan pronounciation dan speaking khususnya dalam percakapan tidak
ditekankan. Sebaliknya, daftar kosakata berdasarkan level dan gradasi kesulitannya
diberikan kepada peserta didik untuk dihapalkan. Tujuannya agar peserta didik
dengan waktu tertentu dapat memiliki pembendaharaan kata yang banyak, sehingga
ia dapat dengan mudah memahami segala macam jenis teks.
d.
The Audiolingual Method
Jenis
pendekatan ini digunakan berdasarkan prinsip-prinsip teori behavioristik.
Selain itu, pendekatan ini banyak mengadaptasi direct approach dan sebagai
respon atas kurangnya pengajaran speaking dalam reading approach. Guru
menyampaikan materi baru dengan cara berdialog. Pengingatan (memorization), dan
bermain mimik (mimicry) menjadi salah satu teknik utama dalam pendekatan ini.
Grammar diajarkan secara bertahap dan berulang, sebagai proses penguatan, di
samping itu pengajaran grammar diajarkan secara terintegral berdasarkan topik
yang sedang dibahas.
e.
Community Language Learning
Pendekatan
jenis ini agak berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya. Community
language learning lebih ditujukan untuk menghilangkan kecemasan atau ketakutan
(anxiety) peserta didik saat mempelajari bahasa kedua. Konsekuensinya,
pendekatan tersebut lebih menekankan ke arah bimbingan konseling daripada
pengajaran biasa. Oleh karena itu, guru lebih berposisi sebagai pembimbing yang
melatih peserta didiknya.
f.
The Silent Way
Pendekatan
jenis ini digunakan agar peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran di dalam
kelas. Guru lebih terkonsentrasi dalam mencermati bagaimana peserta didik
berucap dan bagaimana mereka mengucapkan ekspresiekspresi tersebut. Guru pun
berupaya agar peserta didik mampu mengucapkan berbagai macam kata dengan cara
memproduksi kata yang benar, di samping itu untuk melatih spontanitas
penggunaan bahasa kedua dalam situasi apapun.
g.
Functional-Notional Approach
Metode
ini merupakan bagian dari payung pendekatan komunikatif. Namun,
functional-notional approach ini menekankan pada pengorganisasian silabus
bahasa. Penekanannya adalah untuk membagi konsep global bahasa ke dalam
unit-unit analisis menurut situasi komunikasi yang biasa digunakan oleh penutur
bahasa. Pengajaran dibagi ke dalam beberapa elemen seperti kata benda, kata
ganti, kata kerja, preposisi, konjungsi, kata ganti atau kata sifat. Situasi berpengaruh
pula terhadap variasi bahasa seperti dialek, formal dan informal.
h.
Total Physical Response
James J. Asher
mendefinisikan Total Physical Response (TPR) sebagai satu pendekatan yang
mengombinasikan informasi dan keahlian melalui kegunaan sistem sensor
kinestatis. Kombinasi keahlian ini memperbolehkan peserta didik untuk
mengasimilasikan informasi secara cepat. Hasilnya adalah membawa kepada tingkat
motivasi peserta didik.
Kesimpulannya adalah pemahaman bahasa
lisan sebelum mengembangkan keahlian berbicara, menekankan terhadap transfer
informasi komunikasi. Peserta didik tidak dipaksa untuk berkata, namun
dikondisikan untuk siap berbicara saat peserta didik merasakan nyaman dan
percaya diri dalam memahami dan memproduksi bahasa. Beberapa teknik dapat
dilakukan oleh guru, seperti guru memperagakan sendiri beberapa ekspresi yang
diajarkan. Guru meminta peserta didik untuk mengikutinya. Guru meminta peserta
didik yang memeragakan sendiri. Guru dan siswa bermain peran secara bergantian.
Guru dan peserta didik dapat memperluas produksi kalimat yang baru.