BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa digunakan sebagai alat
komunikasi. Dengan komunikasi manusia dapat bertukar pikiran baik secara lisan
maupun tertulis. Salah satu bentuk komunikasi tertulis adalah karangan, karena
dengan sebuah karangan dapat membuat seorang pembaca mengetahui maksud tujuan
seorang penulis.
Manusia sebagai mahluk sosisal memerlukan
komunikasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam komunikasi terjadi
pertukaran informasi dari satu pihak kepada pihak lain melalui sarana tertentu.
Salah satu sarana komunikasi yang telah dekat dengan kehidupan kita adalah komunikasi
tidak langsung yang berupa komunikasi tulis. Salah satu komunikasi tulis adalah
sastra. Sastra terbagi dalam beberapa genre sastra, salah satunya adalah
prosa fiksi. Prosa fiksi adalah cerita rekaan yang timbul dari imajinasi para
pengarangnya.
Kegiatan mengapresiasi sastra adalah suatu
kegiatan menggauli karya sastra secara
sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepeekaan pikiran
kritis, dan kepekaan peraasaan yang baik terhadap karya sastra. Dalam mengapresiasi
karya sastra harus dilakukan beberapa pendekatan agar kita dapat dengan mudah
mengapresiasi bahkan mengaanlisis karya sastra yang dibaca. Mengapresiasi
sastra dilakukan karena pembaca memiliki tujuan tertentu, apakah hanya untuk
kepentingan pribadi atau pun untuk hal-hal yang lain. Mengapresiasi satra sangat memberikan
manfaat bagi para pembacanya.
Salah satu karya sastra yang biasanya
diapresiasi adalah novel. Novel merupakan cerita fiksi yang melukiskan kronik kehidupan tokoh-tokoh
yang rinci dan mendalam. Novel terdiri atas berbagai ragam didasarkan pada isi novel tersebut.
Dalam suatu prosa fiksi terdapat
unsur intrinsik yang terdiri atas lapis bentuk dan lapis makna. Lapis bentuk
disebut juga sebagai struktur dalam dan lapis makna disebut sebagai struktur
luar. Jika kita telah mampu mengapresiasi, maka kita akan bisa menganalisis
unsur-unsur intrinsiknya.
Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan salah satu novel yang termasuk roman
psikologis karena menitikberatkan pada analisis jiwa dari masing-masing
pelakunya.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis
tertarik untuk menganalisis sebuah novel yang berjudul Belenggu karya Armijn Pane. Pembahasan tersebut
penulis wujudkan dalam sebuah makalah yang berjudul “Analisis Novel Belenggu karya
Armijn Pane.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran yang
diungkapkan penulis dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
hakikat pembelajaran apresiasi sastra?
2.
Bagaimanakah
hakikat apresiasi?
3.
Apa saja
hakikat unsur intrinsik novel atau roman?
4.
Bagaimanakah lapis bentuk atau struktur dalam prosa fiksi?
5.
Bagaimanakahlapis makna dalam novel Belenggu karya Armijn Pane?
6.
Bagaimanakah analisis unsur intrinsik novel Belenggu karya Armijn Pane sebagai alternatif bahan pembelajaran di sekolahan?
C. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan
untuk mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal sebagi berikut:
1.
Hakikat pembelajaran apresiasi sastra?
2.
Hakikat apresiasi?
3.
Hakikat unsur
intrinsik novel atau roman?
4.
Lapis bentuk
atau struktur dalam prosa fiksi?
5.
Lapis makna
dalam novel Belenggu karya Armijn Pane?
6.
Analisis
unsur intrinsik novel Belenggu karya Armijn Pane sebagai alternatif bahan pembelajaran di sekolahan?
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusundengan harapan memiliki kegunan yang
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, khususnya kalangan umum dan mahasiswa.
Secara ringkas makalah ini mempunyai beberapa kegunaan baik secara praktis
maupun secara toretis.
Ditinjau dari
kegunan secara praktis makalah ini diharapkan berguna bagi penulis sebagai
wahana menambah wawasan ilmu pengetahuan terutama tentang analisis novel yang berjudul Belenggu karya Armijn Pane. Sedangkan kegunaan secara teoretis, penyusunan makalah ini diharapkan
dapat digunakan sebagai acuan di dalam pengembangan kesusastraan bagi kalangan pelajar maupun mahasiswa.
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A.
Hakikat
Pembelajaran Apresiasi Sastra
1. Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia
Hakikat
mata pelajaran bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(Depdiknas, 2006:317) bahwa pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar, baik secara lisan maupun secara tertulis, serta
menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya sastra kesastraan manusia indonesia.
Hal tersebut penulis memaknai bahwa belajar bahasa adalah belajar menghargai
nilai-nilai kemanusiaannya.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (Depdiknas, 2006:260) bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa
Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang
menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif
terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar
bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional,
nasional dan global.
Selanjutnya, dalm Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006:260) dinyatakan bahwa denagn standar
kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia diharapkan:
a. Peserta
didik dapat mengembangkan potensinya sesuai kemampuan, kebutuhan dan minatnya
serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya dan hasil intelektual
bangsa sendiri.
b. Guru
dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan
menyediakan beraneka ragam kegiatan berbahasa dan sumber belajar.
c. Guru
lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi
lingkungan sosial dan kemampuan siswanya.
d. Orang
tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program di
sekolah.
e. Sekolah
dapat menyusun program pendidikan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber
belajar yang tersedia.
f. Daerah
dapat menentukan bahan dan sumber belajar sesuai dengan kondisi dan kekhasan
daerah.
Standar
kompetensi merupakan kerangka mata pelajaran bahasa Indonesia yang berisi
seperangkat kompetrnsi yang harus dimiliki dan dicapai oleh siswa pada setiap
tingkatan. Klerangka itu terdiri atas empat kompetensi utama yaitu standar
kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan materi pokok.
Lebih
rinci dinyatakan dalam kurikulum 2004 (2004:11) bahwa
Kompetensi dasar
merupakan urutan yang memadai atas kemampuan yang harus dikuasai siswa dalam
berkomunikasi lisan (mendengarkan dan berbicara) dan tulis (membaca dan
menulis) sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, serta mengapresiasi karya
sastra. Kompetensi ini harus dimiliki dan dikembangkan secara maju dan
berkelanjutan seiring dengan perkembangan siswa untuk mahir berkomunikasi dan
memecahkan masalah. Kompetensi dasar ini di capai melalui proses pemahiran yang
dilatihkan dan dialami.
Indikator merupakan uraian spesifik dari
kompetensi yang harus dikuasai siswa pada jenjang tertentu yang dapat dijadikan
ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
Dinyatakan
pula dalam kurikulum 2004 bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa dan
sastra Indonesia SMA dan MA dinyatakan akan sebagai berikut :
a.
Berdaya tahan dalam berkonsenterasi
mendengarkan berbagai konteks sampai dengan seratus dua puluh menit dan mampu
memahami dan peka terhadap gagasan, pandangan, dan perasaan orang lain secara
lengkap dalam uraian.Khotbah, pidato, ceramah, dialog, dan film serta mampu
memberikan pendapat dan perhatian.
b.
Menyampaikan ceramah, berdiskusi dalam
seminar, meyakinkan orang lain, memberikan petunjuk, menjelaskan suatu proses
secara rinci berbagai peristiwa, mengkritik, dan berekspresi dalam berbagai
keperluan dan konteks.
c.
Membaca berbagai ragam teks,
menganalisis informasi dan gagasan, memberikan komentar, menyeleksi, dan
memsistensikan informasi dari berbagai sumber.
d.
Menulis karangan fiksi dan nonfiksi
dengan menggunakan kosakata yang bervariasi dan efektif untuk menimbulkan efek
dan hasil tertentu.
e.
Mengapresiasi sastra melalui kegiatan
mendengarkan, menonton, membaca dan melisankan hasil sastra berupa puisi,
cerita pendek, novel, drama, memahami dan menggunakan pengertian teknis hasil
kesusasteraan dan sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai, dan
menganalisis hasil sastra, memerankan drama, menulis karya cipta sastra berupa
puisi, cerita pendek, novel, dan drama (Depdiknas, 2004 : 4).
2. Kompetensi Dasar dan Indikator
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (Depdiknas, 2006:267) dinyatakan bahwa kompetensi dasarnya adlah (1)
menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia, (2)
menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia.
Kompetensi dasar tersebut penulis
jabarkan menjadi indikator yang harus dicapai siswa yaitu (1) dapat menemukan
unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel Indonesia, (2) dapat menganalisis
unsur-unsur intrinsik dan akstrinsik novel Indonesia.
B. Hakikat Apresiasi
1. Pengertian Apresiasi Sastra
Aminuddin (2004:34) menyatakan bahwa istilah apresiasi
berasal dari bahasa Latin apreciatio
yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Selanjutnya Aminuddin menguti pandapat Gove
(2004:34) bahwa “istilah apresiasi mengandung makna (1) pengenalan melalui
perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap
nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.” Pendapat Squire dan Taba dikutip
Aminudin (2004:32) bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur
inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (3) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan
keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang
bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi
pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang
dibaca. Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian
terhadap baik-buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, serta sejumlah
ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi
secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.
S. Effendi (L.T. Tjahjono:17) menyebutkan bahwa ‘apresiasi sastra adalah
kegiatan menggauli karya sastra dengsan sungguh-sungguh hingga tumbuh
pengertian, penghargaan kepekaan pikiran kritis dan kepekaan yang baik terhadap
karya sastra.’ Mengapresiasi sastra berarti menanggapi sastra dengan kemempuan
efektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang terkandung pada karya
yang bersangkutan, baik nnag tersirat maupun ynag tersurat dalam kerangka
tematik ynag mendasarinya. Di lain pihak, kepekaan tanggapan tersebut berupaya
memahami pola tata nilai ynag diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi sesuai
dengan konteks persoalnnya.
“Kegiatan apresiasi sastra bukanlah
kegiatan tunggal, melainkan sejumlah kegiatan ynag saling berhubungan.” (Titin
Kusmini & Yunus Abidin, :11). Apresiasi yang dilakukan oleh seseorang membentuk pengalaman
orang itu berkenaan dengan sastra. Pengalaman dengan sastra itu menimbulkan
perubahan dan pengaruh tingkah laku orang itu. Jadi, kegiatan apresiasi adalah
kegiatan mengalami berupa memperhatikan, meminati, bersikap, membiasakan diri dan manampilkan diri berkenaan dengan sastra.
Tujuannya yaitu untuk mengenal, memahami, dan menikmati nilai yang terkandung
dalam sastra, sehingga sebagai hasilnya terjadi perubahan atau penguatan pada
tingkah laku seseorang terhadap nilai yang tinggi yang terkandung dalam karya
sastra.
Berdasarkan pengertian apresiasi di
atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep
abstrak yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian
yang di dalamnya mengisyaratkan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud
secara konkret. Prilaku apresiasi sastra dapat dibedakan antara perilaku
kegiatan secara langsung dan perilaku kegiatan secara tidak langsung.
Apresiasi sastra secara langsung
adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun
performansi secara langsung. Kegiatan apresiasi sastra yang dilakukan secara
tidak langsung dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca
artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah, maupun koran,
mempelajari buku-buku maupun esei yang membahas dan memberikan penilaian
terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra.
2.Pendekatan dalam Apresiasi Sastra
Pendekatan sebagai suatu prinsip
dasar atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi karya sastra dapat
bermacam-macam. Aminuddin (2004:40) mengemukakan bahwa “keanekaragaman pendekatan yang
digunkan lebih banyak ditentukan oleh (1) tujuan dan apa yang akan diapresiasi
lewat teks sastra yang dibacanya, (2) kelangsungan apresiasi itu terproses
lewat kegiatan bagaimana, dan (3) landasan teori yang digunakan dala kegiatan
apresiasi.” Pemilihan dan penentuan
pendekatan tersebut tentu sangat ditentukan oleh tujuan pengapresiasi itu
sendiri.
Bertolak dari tujuan dan apa yang
akan diapresiasi, maka pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan meliputi:
a.
Pendekatan Parafratis
Pendekatan parafratis dikemukakan
Aminuddin
(2005:41) yaitu “strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra
dengan jalan megungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan
menggunakan kata-kata maupun kalimat ynag berbeda dengan kata-kata dan kalimat
yang digunakan pengarangnya.” Tujuan akhir dari penggunaan pendekatan
parafratis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang
pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna ynag terdapat
dalam suatu cipta sastra.
Aminuddin (2004:41) mengemukakan bahwa:
prinsip dasar
dari penerapan penerapan pendekatan parafratis pada hakikatnya berangkat dari pemikiran
bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2)
symbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti
dengan lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna, (3)
kalimat-kkalimat atau baris dalam suatu cipta sastrayang mengalami pelesapan
dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4) pengubahan suatu cipta
sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolik dan elitis menjadi
suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya
seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan, dan (5)
pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau
bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan
yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Penerapan pendekatan parafratis
selain untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan
untuk mempertajam, memperluas, dan melengkapi pemahaman makna yang diperoleh
pembaca itu sendiri. Pendekatan parafratis selain dapat dilaksanakan pada awal
kegiatan mengapresiasi sastra, juga dapat dilaksanakan setelah kegiatan
apresiasi berlangsung.
b.
Pendekatan Emotif
“Pendekatan emotif dalam
mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan
unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca.” (Aminuddin, 2004:42). Ajukan
emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan
emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.
Aminuddin (2004:42) juga mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya
pendekatan emotif ini adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari
karya seni yang hadir di hadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga
mampu memberikan hiburan dan kesenangan. Dan dengan menggunakan pendekatan
emotif inilah deharapka pembaca mampu menemukan unsur-unsur keindahan maupun
kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Pendekatan emotif ini, selain
berhubungan dengan masalah keindahan yang lebih lanjut akan berhubungan dengan
masalah gaya
bahsa seperti metaphor, simile maupun penataan setting yang mampu menghasilkan
panorama yang menarik. Penikmatan keindahan itu juga dapat berhubungan dengan
penyampaian cerita, peristiwa, maupun gagasan tertentu ynag lucu dan menarik
sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan kapada pembaca, lebih lanjut
dapat berhubungan dengan masalah pola persajakan dan paduan bunyi yang lebih
lanjut dapat mengahdirkan unsur-unsur musikalitas yang merdu dan menarik.
c.
Pendekatan Analitis
Pendekatan analitis diartikan Aminuddin (2004:44) sebagai
suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan
gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan
gagasan-gagasannya, elemen-elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga
mampu membangun adanya keselarasan dan kasatuan dalam rangka membangun
totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Dinyatakan pula oleh Aminuddin (2004:44) bahwa
penerapan pendekatan analitis itu pada dasarnya akan
menolong pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara
actual telah berada dalam suatu cipta sastra dan bukan dalam rumusan-rumusan
atau definisi-definisi seperti yang terdapat dalam kajian teori sastra. Selain
itu, pembaca juga dapat memahami bagaimana fungsi setiap elemen cipta satra
dalam rangka membangun keseluruhannya.
Dengan kata lain, pendekatan anlaitis
ini adalah suatu pendekatan yang bertujuan menyusun sintesis lewat analisis.
Melalui penerapan pendekatan ini diharapkan pembaca pada umumnya menyadari
bahwa cipta sastra itu pada dasarnya diwujudkan lewat kegiatan yang serius dan
terencana sehingga tertanamkanlah rasa penghargaan atau sikap yang baik terhadap
karya sastra.
“Kegiatan megapresiasi sastra dengan
menerapkan pendekatan analisis ini dapat dianggap sebagai suatu kerja yang
bersifat saintifik.” (Aminuddin, 2004:45). Pendekatan analitis dianggap sebagai suatu kerja yang
bersifat saintifik karena dalam menerapkan pendekatan itu pembaca harus berangkat
dari landasan teori tertentu , bersifat objektif dan harus mewujudkan hasil
analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum. Metode
kerja demikian itu dapat disamakan dengan metode kerja pada linguis dalam
upayanya menerapkan metode deskriptif yang bersifat eksak dalam rangka menelaah
aspek kebahsaan dalam cipta sastra.
d.
Pendekatan Historis
Pendekatan historis dikemukakan Aminuddin (2004:46) sebagai
suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang,
latar belakng peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya
cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagimana perkembangan kehidupan
penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke
zaman.
Aminuddin (2004:46) juga menyatakan “prinsip dasar yamng
melatarbelakangi lahirnya pendekatan histories adalah anggapan bahwa cipta
sastra bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya.” Pemahaman terhadap biografi pengarang juga sangat
penting dalam upaya memahami kandungan makna dalam suatu cipta sastra. Sebab
itulah telaah makna suatu teks dalam pendekatan sosiosemantik sangat mengutamakan konteks, baik konteks
sosio-budaya, situasi atau zaman maupun konteks kehidupan pengarangnya sendiri.
e.
Pendekatan Sosiopsikologis
Aminuddin (2004:46) mengemukakan bahwa “pendekatan
sosiospsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang
kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau
sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat
cipta sastra itu diwujudkan.” Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini memang
sering tumpang tindih dengan pendekatan histories. Akan tetapi selama masalah
yang akan dibahas untuk setiap pendkatan itu dibatasi dengan jelas, maka
ketumpangtindihan itu pasti dapat dihindari.
Sehubungan dengan penerapan
pendekatan sosio-psikologis itu, terdapat anggapan bahwa cipta sastra merupakan
kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan serta mamapu menampilkan tanggapan
evaluatif terhadapnya. Sebab itulah dengan mengutip pendapat Grebestein,
Sapardi Djokodamono (Aminuddin, 2004:47) mengungkapkan bahwa “karya sastra tidak dapat dipahami
selengkap-lengkapnya apabila dipisahkakn dari lingkungan atau kebudayaan.
f.
Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis dinyatakan Aminuddin (2004:47) sebagai “suatu
pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, maupun
sikap pengarang terhadap kehidupan.” Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam
hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun
agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan
rohaniah pembaca.
Aminuddin (2004:47) juga menyatakan “pendekatan didaktis
pada dasarnya merupakan suatu pendekatan
yang telah berjarak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta
sastra.” Sebab itulah penerapan pendekatan didaktis dalam apresiaasi sastra akan
menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan
dari pembacanya. Penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan
yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan teras lebih
banyak mengaasyikkan karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan
keteladanan lewat teks yang dibaca.
“Dalam pelaksanaannya, penggunaan
pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya pemahaman satuan-satuan pokok
pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra” (Aminuddin, 2004:48). Satuan
pikiran pokok itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa
tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari
pengarang atau penyairnya. Dalam
penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai pembimbing kegiatan berpikirnya,
pembaca dapat berangkat dari pola berfikir.
Penemuan nilai-nilai didaktis dalam
cipta sastra itu bersifat interpretative. Hal itu tidak selamanya demikian
karena nilai-nilai itu dapat saja tampil secara eksplisit sehingga pembaca
tidak perlu berpayah-payah menafsirkannya.
Dalam pelaksanaannya, keenam pendekatan itu umumnya
digunakan secara enklitik, yakni
pendekatan yang satu mungkin saja digunakan secara bersamaan dengan pendekatan
lain. Tujuan penerapan pendekatan secara enklitik itu adalah (1) agar pembaca
tidak merasa bosan, (2) apresiasi yang hanya menekankan pada satu pendekatan
saja akan memberikan informasi yang tidak lengakp atau bahkan salah, dan (3)
penerapan pendekatan secara enklitik sesuai denga kompleksitas aspek maupun
keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri. (Aminuddin, 2004:49).
3.
Tujuan Apresiasi Sastra
Seseorang mengapresisasi sastra tentu
memiliki tujuan. Secara umum, tujuan mengapresiasi sastra adalah agar pembaca
memiliki pengetahuan dan wawasan dari karya sastra yang diapresiasinya itu.
Selain itu juga untuk lebih memahami makna yang tersirat dan tersurat dalam
karya itu sehingga pesan yang disampaikan pengarang dapat dipahami.
4.
Manfaat Mengapresiasi Sastra
Sebagai sesuatu yang mengandung
berbagai aspek, manfaat yang diperoleh seseorang setelah mengapresiasi atau selama mengapresiasi
banyak sekali. Aminuddin (2004:60) menyatakan “lewat karya sastra seseorang dapat menambah
pengetahuannya tentang kosakata dalam suatu bahasa, tentang pola kehidupan
suatu masyarakat.” Manfaat yang
diperoleh sewaktu atau setelah membaca sastra dibedakan dalam dua ragam, yakni
manfaat secara umum dan manfaat secara khusus.
a.
Manfaat Secara Umum
Seperti telah diketahui, masyarakat
pemminat atau pembaca sastra sangat beragam. Adanya keragaman itu lebih lanjut
juga menyebabkan timbulnya keragaman dalam kegiatan apresiasinya. Manfaat
membaca secara umum menurut Aminuddin (2004:61) adalah manfaat mambaca sastra yang diperoleh oleh
pembaca pada umumnya lewat greneralisasi.
Sehubungan dengan kompleksitas aspek yang terkandung
dalam suatu cipta sastra, Aminuddin (2004:61) mengutip pendapat Olsen yaitu
cipta sastra sedikitnya akan mengandung tiga elemen
yang diistilahkan dengan (1) aesthetic
properties, yang berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik maupun media pemaparan
ssuatu cipta sastra, (2) aesthetic
dimension, berhubungan denagn dimensi kehidupan yang dikandung oleh suatu
cipta sastra, dan (3) aesthetic object,
berhubungan dengan kemampuan cipta sastra untuk dijadikan objek kegiatan
manusia sesuai dengan keanekaragaman tujuan yang ingin dicapainya.
Dari pendapat itu disimpulkan bahwa
cipta sastra pada dasarnya mampu memberikan
manfaat yang lebih bernilai daripada sekedar pengisi waktu luang atau pemberi
hiburan.
b.
Manfaat Secara Khusus
Manfaat secara khusus diartiakn Aminuddin (2004:62) yaitu
“sebagai manfaat yang dicapai oleh seorang pembaca sehubungan dengan upaya
pencapaian tujuan-tujun tetentu. Selanjutnya Aminuddin (2004:62)
mengemukakan,
kegiatan membaca sastra dapat memberikan manfaat (1)
memberikan informasi yang berhubungan dengan pemrolehan nilai-nilai kehidupan,
(2) memperkaya pandangan atau wawasan kehidupan sebagai salah satu unsur yang
berhubungan dengan pemberian arti maupun peningkatan nilai kehidupan manusia
iru sendiri, (3) pembaca dapat memperoleh dan memahami nilai-nilai budaya dari
setiap zaman yang melahirkan cipta sastra itu sendiri, dan (4) mengembangkan
sikap kritis pembaca dalam mengamati perkembangan zamannya, sejalan dengan
kadudukan sastra itu sendiri sebagai salah satu kreasi manusia yang mampu
menjadi semacam peramal tentang perkebangan zaman itu sendiri di masa yang akan
datang.
Pendapat Grebstein, yang dikutip
Sapardi Djokodamono, dikutip lagi Aminuddin (2004:63) bahwa masyarakat yang akan mendekati
karya sastra dari dua arah, yakni (1) sastra dapat disikapi sebagai suatu kekuatan atau faktor material yang
istimewa, dan (2) sastra sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan
spiritual maupun kultural yang besifat kolektif.
Berdasarkan pendapat-pendapat di
atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa manfaat membaca sastra adalah (1) sebagai
pengisi waktu luang, (2) pemberian atau pemerolehan hiburan, (3) untuk
mendapatkan informasi, (4) media pengembang dan pemerkaya kehidupan, dan (5)
memberikan pengetahuan nilai sosio-kultural dari zaman atau masa karya sastra
itu dilahirkan.
C. Hakikat Unsur Intrinsik
“Unsur intrinsik adalah unsur-unsur
yang membangun karya sastra itu sendiri.” (Burhan Nurgiyantoro, 2007:23).Unsur-unsur
inilah yang menyebabkan karya sastra yang secara faktual akan dijumpai jika
orang membaca karya sastra. Unsur Intrinsik dalam prosa fiksi terdiri atas
lapis bentuk dan lapis makna.
1.
Lapis Bentuk dalam Prosa Fiksi
a.
Plot atau Alur
Rene Wellek (L. T. Tjahjono,1988:107)
berpendapat bahwa plot itu merupakan struktur penceritaan. Sedangkan Hudson (L.T.
Tjahjono, 1988:107) berpendapat bahwa plot itu merupakan rangkaian kejadian dan
perbuatan, rangkaian hal yang dikerjakan atau diderit oleh tokoh dalam prosa
fiksi. Sementara itu, M. Saleh Saad (L.T. Tjahjono, 1988:107) berpendapat bahwa
plot itu adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab-akibat
atau kausalitas, plot tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang
lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi.
Dari beberapa pengertian tersebut penulis
simpulkan, plot adalah struktur penceriataan dalam prosa fiksi yang di dalamnya
berisi rangkaian kejadian atau peristiwa ynag disusun berdasarkan hukum
sebab-akibat serta logis.
Plot terbentuk oleh tahapan emosional
dan suasana dalam cerita. M Saleh Saad (L.T.
Tjahjono, 1988:109) mambagi tahapan dalam plot menjadi tahapan permulaan,
tahapan pertikaian, tahapan perumitan, tahapan puncak, tahapan peleraian, dan
tahapan akhir. Tahapan plot terbentuk oleh satuan-satuan peristiwa. Sedangkan
dalam satuan peristiwa berisi satu pokok pikiran atau satu masalah.
1)
Tahapan Permulaan
Dalam tahapan permulaan, pengarang
memperkenalkan tokoh-tokohnya, menjelaskan tempat peristiwa itu terjadi,
memperkenalkan kemungkinan peristiwa yang akan terjadi, dan sebagainya.
2)
Tahapan Pertikaian
Tahap pertikaian dimulai dengan satu
tahapan yang diberi nama sebagai inciting force yakni tahapan di mana muncul
kekuatan, kehendak, kemauan, sikap, pandangan, dan sebagianya yang saling
bertentangan antarpara tokoh dalam cerita tertentu. Kemudian suasana ini kan berkembang dalam
tahapan rising-action yakni tahapan yang menunjukkan suasana emosional yang
semakin panas karena para tokoh dalam cerita tersebut mulai terlibat konflik.
3)
Tahapan Perumitan
Dalam tahapan ini nampak sekali bahwa
suasana semakin panas, karena konflik semakin mendekati puncaknya. Gambaran
nasib terhadap tokoh dalam cerita tersebut sudah nampak jelas pula meski belum
sepenuhnya terlukis.
4)
Tahapan Puncak
Tahapan puncak atau klimaks merupakan
tahapan di mana konflik itu mulai mencapai tiitk optimalnya. Dalam tahapan
ini nasib para tokoh semakin dapat
dipastikan . Tahapan ini merupakan tahapan yang benar-benar menentukan nasi
para tokoh dalam cerita tersebut. Peristiwa yang terjadi dalam tahapan ini yang
bertindak sebagai pengubah nasib mereka.
5)
Tahapan Peleraian
Dalam tahapan ini kadar konflik mulai
berkurang dan menurun. Hal semacam ini akan mengakibatkan ketegangan emosional pun
ikut menyusut. Suasana panas berusaha dikembalikan pada keadaan yang wajar
seperti sebelum konflik-konflik itu bermunculan.
6)
Tahapan Akhir
Tahapan akhir merupakan tahapan yang
berisi ketentuan final dari segala konflik yang disajikan, merupakan kesimpulan
dari segala masalah yang dipaparkan. Bila akhir cerita itu membahagiakan
biasanya disebut dengan istilah denounment, bila akhir cerita itu menyedihkan
disebut dengan catastrophe, sedangkan bila akhir cerita itu bersifat terbuka
karena pembaca sendiri disuruh menyelesaikan cerita itu denagn imajinasinya
disebut salution.
b.
Karakter dan karakterisasi
“Karakter adalah tokoh-tokoh dalam
sebuah cerita, sedangkan karakterisasi adalah cara pengarang melukiskan
tokoh-tokoh dalam cerita yang ditulisnya,” (L.T. Tjahjono, 1988:138). Menurut
M. Saleh Saad (L.T. Tjahjono, 1988:107), cara pengarang melukiskan keadaan dan
watak tokoh-tokohnya dapat melalui dua jalan yaitu cara analitik dan cara
dramatik.
Dengan cara analitik seorang
pengarang akan menjelaskan secara langsung keadaan watak dan tokoh-tokohnya.
Sedangkan dengan cara dramatik, dalam melukiskan tokoh-tokohnya tidak dengan
cara menganalisis langsung, tetapi melaui hal-hal lain yakni: (1) dengan cara
melukiskan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama, (2) dengan cara melukiskan
keadaan sekitar tempat tokoh itu tinggal,
(3) dengan cara melukiskan jalan pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam
cerita tersebut, dan (4) dengan cara melukiskan perbuatan tokoh-tokoh tersebut.
c.
Latar atau Panorama (setting)
“Latar dalam prosa fiksi merupakan
tempat, waktu atau keadaan alam terjadinya suatu peristiwa,” (L.T. Tjahjono,
1988:143). Hal ini perlu dimunculkan dalam sebuah cerita karena pada dasarnya
setiap perbuatan atau aktivitas manusia akan terjadi pada tempat, waktu, dan
keadaaan tertentu pula.
Latar atau setting dalam prosa
fiksi dapat dibedakan menjadi empat
macam yaitu: (1) latar alam, di dalamnya dilukiskan perihal tempat atau lokasi
peristiwa itu terjadi; (2) latar waktu, latar yang melukiskan kapan peristiwa itu terjadi; (3) latar
sosial, melukiskan dalam lingkungan sosial lingkungan mana peristiwa itu
terjalin; dan (4) latar ruang, latar yang melukiskan dalam ruang ynag bagaimana
peristiwa itu berlangsung.
d.
Titik kisah (Point of view)
“Titik kisah dalam prosa fiksi adalah
bagaimana cara pengarang menempatkan atau memeperlakukan dirinya dalam cerita
yang ditulisnya,” (L.T. Tjahjono, 1988:145). Menurut Gorys Keraf (L.T.
Tjahjono, 1988:145), titik kisah ini dapat dibedakan menjadi dua pola utama
yaitu:
1)
pola orang pertama
Dalam pola orang pertama, penulis
tampak terlibat dalam cerita yang dikarangnya. Dalam pola semacam ini tampak sekali pengarang memperlakukan dirinya
sebagai tokoh (baik tokoh utama maupun tokoh sampingan). Titik kisah semacam
inilah yang disebut memakai pola orang pertama. Kata ganti yang dipakai
biasanya adalah kata ganti aku, saya, dan kami.
Dlam pola pengarang
orang pertama kedudukan pengarang dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu
: a) pengarang sebagai tokoh utama, b)
pengarang sebagai pengamat tidak langsung, dan c) pengarang sebagai pengamat langsung.
2)
pola orang ketiga
Pola orang ketiga secara eksplisit
memakai kata ganti ia, dia atau nama orang. Dalam pola ini pengarang tidak
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa yang
terjadi pad cerita tersebut. Pengarang berada jauh di luar jalinan kisah itu
tidak ikut di dalam segala pola tingkah para tokoh dalam cerita yang ditulisnya.
e.
Gaya
Secara konsepsional gaya berarti cara, teknik, maupun bentuk yang
digunakan pengarang untuk menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menciptakan nuansa makna dan suasana
yang dapat menyentuh pikiran dan perasaan pembaca.
Gaya sesungguhnya merupakan perwujudan pribadi pengarangnya sehingga
masing-masing pengarang itu selalu memiliki gaya
tersendiri yang berbeda dengan gaya
pengarang yang lain. Perbedaan gaya
ini dikarenakan adanya perbedaan pilihan kata dari masing-masing pengarang, tataan kata dan
kalimatnya, dan cara mengungkapkan masalah yang ditampilkan.
2.
Lapis Makna dalam Prosa Fiksi
a.
Pembayangan Peristiwa yang akan
terjadi (Foreshadowing)
Suatu cerita akan menarik bila mampu
menyeret pembaca untuk membayangkan peristiwa yang akan terjadi dalam cerita
yang dibacanya. Agar cerita itu menarik hati pembaca memang harus dijalin dalam
bahasa yang menarik, mendayagunakan pemakaian gaya bahasa secara efektif. Di samping itu
penuturannyapun harus menarik. Seorang pengarang harus menyajikan tuturan itu
dengan penuh variasi. Kadangkala dituturkan perihal lakuan tokoh dan latarnya,
kadangkala diselingi pula dengan dialog antartokoh dan juga monolog. Dan yang
lebih penting masalah yang diangkat dalam cerita itu relevan dengan saat itu.
b.
Tegangan (Suspence)
“Tegangan merupakan suasana yang
diciptakan pengarang dalam karyanya sedemikian rupa, sehingga pembaca dalam
suasana tegang, bertanya-tanya, dan penasaran untuk segera menyelesaikan cerita
tersebut,” (L.T. Tjahjono, 1988:156). Tegangan dalam sebuah cerita mampu
membuat seorang pembaca terpaku dalam cerita yang dibacanya itu. Tegangan ini
bisa tercipta bila tataan kata, kalimat, pilihan kata, dan cara pengungkapannya
tepat.
c.
Nada (Feeling)
L.T. Tjahjono (1988:157) memberikan
pengertian “nada atau feeling dalam prosa fiksi berarti sikap pengarang
terhadap masalah dan terhadap tokoh-tokoh yang ditampilkan.” Misalnya seseorang
mengankat masalah cinta dalam sebuah roman. Yang dimaksud dengan nada adalah
bagaimana sikap pengarang terhadap cinta itu : merasa perlu, acuh tak acuh,
menganggap cinta itu agung dan kudus, atau merasa membencinya sama sekali.
d.
Suasana (Tone)
“Suasana atau tone dalam prosa fiksi
adalah perasaan simpati, benci, kasihan, prihatin, sayang, dan sebagainya
terhadap masalah dan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita yang dibangkitkan pengarang
dalam hati pembaca,” (L.T. Tjahjono, 1988:158). Dalam hubungannya dengan
analisis prosa fiksi tone bisa membuahkan pertanyaan, “perasaan apa yabf timbul
di hati pembaca setelah membaca sebuah cerita?” Jawaban dari pertanyaan itulah
yang dimaksudkan dengan suasana atau tone itu.
e.
Tema (Theme)
“Tema atau theme merupakan ide dasar
yang bertindak sebagai titik tolak keberangkatan pengarang dalam menyusun sebuah
cerita,” (L.T. Tjahjono, 1988:158). Jadi sebelum menulis cerita, seorang
pengarang harus menyiapkan tema terlebih dahulu. Karena itulah penyikapan
terhadap eksistensi tema akan bertolak belakang antara pengarang dan pembaca.
Kalau pengarang harus menentukan temanya lebih dahulu sebelum menulis
ceritanya, namun bagi pembaca tema itu akan dapat dipahami bila pembaca itu
telah membaca keseluruhan cerita dan menyimpulkannya.
Bagi pembaca, tema
itu akan baru benar-benar jelas bila pembaca telah memahami satuan
peristiwanya, tahapan plotnya, tokoh-tokoh dalam cerita itu dan
karekterisasinya, memahami latar atau setting dan hubungan setting itu dengan
masalah yang diangkat serta tokoh-tokohnya, dan memahami sikap pengarang
terhadap masalah yang diangkat dalam cerita itu. Setelah itu barulah dapat
mengetahui tema dalam suatu prosa fiksi.
BAB III
ANALISIS DAN PENGOLAHAN
DATA
A. Anlaisis Lapis Bentuk/Struktur
Dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane.
1. Plot/Alur
a. Tahapan
Permulaan
Dalam novel Belenggu, tahap permulaan dimulai dengan
pengenalan para tokohnya. Dokter Sukartono (Tono), seorang dokter yang sangat
mencintai pekerjaannya dan sangat giat bekerja. Dia menikah dengan seorang
gadis yang sangat cantik yang bernama Sumartini (Tini). Tetapi pernikahan
mereka tidak didasari dengan rasa cinta sehingga tidak ada keharmonisan dalam keluarganya.
Dr. Sukartono sibuk dengan pekerjaannya, sementara Sumartini hanya menjaga
telpon jika ada pasien yang meminta pertolongan kepada suaminya. Dikenalkan
juga tokoh Rohayah, seorang wanita yang baru saja ditinggalkan oleh suaminya dan
dia menjadi wanita panggilan.
b. Tahapan Pertikaian
1) Konflik manusia melawan manusia
Konflik
ini terjadi pada saat Sumartini mulai bertikai dengan Rohayah di dalam kamar
otel karena Tini beranggapan bahwa Rohayah telah merebut suaminya.
2) Konflik manusia melawan batin
Tini bertaruh dengan
dirinya sendiri saat dia mengetahui suaminya bermain cinta dengan wanita lain.
Hati Tini merasa sangat hancur.
3) Konflik manusia dengan Tuhan
Tini hanya bisa berserah diri kepada Tuhan atas nasib yang menimpa dirinya
itu. Ia menyerahkan segala hal yang harus terjadi di kemudian hari kepada sang
Pencipta.
c. Tahapan Perumitan
Dimulai saat Rohayah berpura-pura
sakit. Rohayah terkenal dengan sebutan Ny. Eni pada waktu itu. Karena ingin
bertemu dnegan Tono, dia berpura-pura sakit dan meminta Dr. Sukartono untuk
memeriksa kesehatannya. Saat itu ia tinggal di sebuh hotel dan Dr. Sukartono
pun datang
menemui dan memeriksa Ny. Eni.
Tidak sampai disitu saja, ternyata
hubungan mereka semakin dekat. Setelah mereka semakin mengakrabkan diri satu
sama lin, mulailah tumbuh perasaan cinta pada keduanya. Sebenarnya rohayah
sudah mengenali Tono, karena Tono adalah temannya semasa sekolah di Mulo bahkan
rohayah telah memendam perasaan pada Tono tetapi Yah tidak dapat
mengungkapkannya. Tono tidak mengetahui bahawa Yah adalah temannya. Namun
akhirnya Yah memberi tahu yang sesungguhnya kepada Tono. Semakin hari hubungan
mereka semakin dekat, bahkan Tono sering menemui Yah langsung ke rumah Yah.,
sekali-sekali diajaknya Yah jalan-jalan ke pantai. Di saat itu pula hubungan
antara Tono dan Tini istrinya semakin renggang. Tono semakin jarang berada di
rumah. Tini tidak mengerti mengapa Tono dapat berubah secapat itu kepadanya.
d. Tahapan Klimaks
Pada tahap ini dimulai ketika Tono
semakin yakin bahwa Yah dapat memberikan kasih sayang yang sesungguhnya yang
selama ini tidak ia dapatkan dari istrinya sendiri. Ketika Tono merasa
kahilangan keterntraman dala rumah tangganya dengan Tini dan saat ia bertengkar
dengan istrinya, Tono semakin sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan
tempat tinggal Yah sebagia tempat tingglnya yang kedua. Lama kelamaan hubungan
Yah diketahui oleh Tini yang tak lain adalah istrinya Tono. Hati Sumartini sangat
geram ketika mengetahui hubungan gelap suaminya dengan Yah. Dia ingin melabrak wanita tersebut.
Secara diam-diam Suamrtini pergi ke hotel tempat tinggal Yah. Kepergiannya itu
membawa kekesalan yang mendalam kepada Yah. Dia berniat ingin mencaci maki Yah
karena ia sangar kesal kepad Yah.
e. Tahapan Peleraian
Peleraian dimulai ketika Tini
bertatap muka dengan Yah. Perasaan dendamnya menjadi luluh, kebencian dan nafsu
amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang sebelumnya dianggap sebagi wanita
panggilan ternyata mamilki sifat yang lembut dan ramah. Tini merasa malu pada Yah. Tini merasa bahwa selama
ini dia telah banyak bersalah pada suaminya, dia tidak dapat berlaku seperti
Yah, sikap Yah sangat didambakan oleh Tono dan selama ini Tini tidak bisa bersiakp
seperti itu kepada Tono. Sepulangnya dari hotel, Tini mulai berintropeksi kepad
dirinya sendiri. Dia sangat merasa bersalah kepada suaminya dan ia menyadari
bahwa dia belum bisa menjadi istri yang baik bagi Tono. Tini merasa telah gagal menjadi
seorang istri.
f. Tahapan Akhir
Tahapan akhir dari roman Belenggu
ketika kebulatan tekad Tini memutuskan untuk
berpisah dengan suaminya. Pada awalnya
Tono tidak mau mengabulkan permintaan
Tini, karena apapun yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Tono tidak mengharapkan
terjadinya perceraian di antara mereka. Tono meminta maaf kepada istrinya dan
berjanji untuk merubah sikapnya itu. Namun Tini menegaskan bahwa keputusannya
sudah bulat. Akhirnya mereka sepakat untuk bercerai.
Hati Tono sangat sakit akibat perceraian
tersebut. Hatinya bertambah sedih saat mengetahui bahwa Yah telah meninggalkan
hotelnya. Yah meninggalkan sebuah palt gramopon yang berisi suaranya sendiri
sebagai lagu kenang-kenangan kepada Tono. Dalam kesepian itu Tono memusatkan
pikirannya kepada kitab-kitabnya untuk memperdalam ilmu ketabibannya.
Jika dilihat dari cara pengarang
mengakhiri cerita, maka roman Belenggu termasuk ke dalam plot tertutup karena
berakhir denagn sebuah kepastian. Tono dan Tini akhirnya berpisah, mereka tidak
dapat mempertahankan kehidupan rumah tangganya dan Yah pun pergi ke Caledonia meninggalkan Tono, orang yang dicintainya itu.
2. Karakter
dan Karakterisasi
Karakter dalam
roman Belenggu karya Armijn Pane sebenarnya banyak, tetapi yang penilis
analisis hanya tokoh sentralnya saja, yakni:
a.
Dokter Sukartono (Tono):
seorang dokter yang mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi. Dia terkenal dokter
yang dermawan dan penolong. Dia termasuk seorang yang mencintai pekerjaannya.
Meskipun begitu Tono tidak pernah benar-benar merasakan cinta dari istrinya
selayaknya sebuah keluarga yang harmonis. Kenikmatan hidup yang bersifat
privasi justru dai rasakan dari wanita lain yang bukan istrinya.
b.
Sumartini (Tini): perempuan modern yang mempunyai masa lalu
yang kelam karena bebas bergaul. Salah satu kisahnya yang memilukan adalah
hubungannya yang gagal dengan kekasihnya sebelum menikah dengan Tono.Dia selalu
merana, kasepian karena kesibukan suminya yang tak kenal waktu dalam mengobati
orang sakit sehingga melupakan dan membiarknnya di rumah seorang sendiri.
c.
Siti Rohayah (Yah): perempuan
yang harus menjalankan kawin paksa. Dia meras frustasi, sehingga terjerumus
kelembah kenistaan. Dia teman Dokter Sukartono sewkatu masih sekolah di Mulo
yang secara diam-diam mencintainya.
Dalam menentukan karakterisasinya
itu, pengarang melukiskan tokoh-tokoh yang ditulisnya melalui cara dramatik
yakni dengan melukiskan perbuatan-perbuatan tokoh. Di sana dapat diketahui dengan jelas
karakterisasi para tokohnya melalui gambaran sikap dan perbuatan para tokohnya
itu.
3. Latar/Panorama
(Setting)
Dalam roman Belenggu yang telah penulis analisis, terdapat 3 latar
yaitu:
a.
Latar alam, peristiwa tempat kejadiannya
berada di Kota Jakarta.
b.
Latar waktu,
peristiwa klimaksnya terjadi pada malam hari.
c.
Latar sosial, tempat peristiwa
terjadinya berada di lingkungan kaum cendikiawan yakni seorang dokter.
d.
Latar ruang, tempat peristiwa
terjadinya berada di ruang tengah rumah Tono dan Tini.
4. Titik kisah
(Point of view)
Dalam roman Belenggu, pengarang
menggunakan sudut pandang orang ke-tiga. Pengarang menggunkan nama orang
sebagai pelakunya, tidak menggunakan kata aku sebagai tokoh. Dalam arti lain,
pengarang menceritakan kehidupan tokoh lain, bukan sebagai dirinya sendiri.
Pengarang tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langung di dalam
cerita itu.
5. Gaya
Gaya yang digunakan oleh Armijn Pane dalam
novel
Belenggu didasarkan pada cara pengungkapan masalah yang ditampilkannya. Di
dalamnya banyak dijumpai pilihan kata dalam penataan kata yang istimewa.
Penggunaan gaya bahasa kuno dan masih
bercampur dengan bahasa Belanda (negara yang kolonialisme di Indonesia) menmbah
estetika dari novel ini. Maka tak heran banyak perbendaharaan kata yang terdengar asing jika diucapkan saat ini., seperti prognose, rouge, realiteit, dll.
Bagi yang tidak memahami kosakata bisa dipastikan akan sulit juga untuk
memahami beberapa bagian ceritanya.
Penggunaan gaya bahasa sangat dominan dalam roman
tersebut. Dalam kalimat-kalimatnya pun ada kalimat-kalimat yang panjang dan
pendek selain menunjukkan adanya unsur-unsur yang istimewa , baik dalam hal
pemilihan kata maupun penataan kalimat-kalimatnya. Dalam hal nuansa maknanya
juga menunjukkan sesuatu yang istimewa. Misalnya
“Dia di Solo, kongres Perempuan Seumumnya.”
“Tono” kata Har, lagi berbaring, “Tono, siapa sebenarnya
isterimu? Ah, Aku dulu banyak urusan, kawan-kawanku tersia-sia semua.”
“Bukan ada kukurim kartu…..”
“Boleh jadi aku kebetulan lagi propaganda ke kota lain. Kapan dia
kembali, Tono, aku hendak berkenalan dengan dia.”
“Barangkali dua hari ini kongres habis.”
“Sudahkah kukenal dahulu?”
“Boleh jadi, dia dulu di Bandung, sekolah Lyceum.”
“Sekolah Lyceum, Tono?” lagu suara Hartono gembiara
sedikit.
“Ya, barangkali kau kenal Tini dahulu.”
“Tini? Tini?”
“Yah, Sumartini namanya.”
“Sumartini? Tidak.”
B. Analisis Lapis Makna dalam
novel Belenggu Karya Armijn Pane.
1.
Peristiwa pembayangan yang akan terjadi (Foreshadowing)
Novel Belenggu memiliki akhir yang berubah-ubah dan tidak dapat ditebak
oleh pembaca. Dapat diketahui bahwa kehidupan keluarga Tono dan Tini tidak ada
keharmonisan. Rasa sayang Tono kepada Tini berubah karena Tini acuh tak acuh
juga, tidak peduli kepada suaminya sehingga akhirnya Tono beralih kepada Yah
yang penuh kasih sayang kepadanya.
Terlalu berlika-likunya kehidupan rumah tangga Tono dan Tini membuat sulit
untuk menerka ending dari cerita.
Pada akhirnya cerita ternyata juga berubah-ubah. Tono kembali sayang kepada
Tini karena Tini mulai sayang kembali kepada Tono.
Malamnya Tono
bertemu lagi dengan Yah, lalu dikabarkannya tentang maksud Tini itu, tentang
dia menahannya, jangan dulu terus memutuskan perhubungan. Mula-mulanya Yah
meras tidak segan, Tono cinta juga rupanya akan isterinya, di sama sekali tidak
ingat nasib Yah. Perasaan tidak senang itu sebentar saja. Memang benar begitu.
Bukan dia yang mesti tinggal tapi isteri Tono. Kalau dia sudah pergi, tono akan
melupakan dia, suami isteri akan berbaik lagi. Ah, dia Cuma perempuan sambilan
saja, perintang-rintang waktu.
Dapat dipastikan Tono masih mencintai Tini sehinngga
Tono tidak mungkin dapat beralih kepada Yah lagi. Akan tetapi, Yah masih seperti
memberi harapan kepada Tono, Yah menyampaikan perasannya kepada Tono. “Tono, kekasihku, jiiwa hatiku, mengapa
menangis, mengapa rusuh,. Kita tiada berjauhan, dekat-dekat saja Tono.”
Pembayangan di atas terjawab sudah.
Akhirnya Tono dan Tini memang benar-benar berpisah. Sementara itu, Tono yang
berharap Yah akan menggantikan posisi Tini pun malah pergi meninggalkan Tono
walaupun sebenarnya Yah sangat mencintai Tono.
2.
Tegangan (Suspence)
Tegangan mulai muncul pada saat
hubungan Tono dan Rohayah semakin dekat dan istrinya Tono yakni Tini mengetahui
hubungan mereka. Hati Sumartini sanagt kecewa ketika mengetahui hubungan antara
suaminya dan Yah. Sumartini ingin melabrak Yah karena ia merasa sangat kesal.
Secara diam-diam, Suamrtini pergi ke hotel tempat Yah tinggal dan dia berniat
untuk mencaci maki Yah karena telah mengganggu suaminya.
3.
Nada (Feeling)
Armijn Pane selaku penulis novel Belenggu membuat
sebuah karya yang mampu membawa pembacanya seolah masuk dalam perasaan
emosional para pelaku dalam cerita. Meskipun inti dari cerita ini hanyalah
sebuah cinta segitiga, namun di dalamnya ada beberapa konflik kecil yang
sebenarnya mengandung makna yang sangat mendalam, terutama bagi nagara Indonesia
yang saat itu masih dalam suasana pascakemerdekaan.
4.
Suasana (Tone)
Setelah membaca novel Belenggu penulis
merasa prihatin terhadap nasib salah satu tokoh yakni Sumartini. Sebagai
seorang istri, tentu akan merasa sakit hati apabila suaminya berpaling kepada
wanita lain. Suami yang seharusnya menjadi imam
dalam keluarga, ia malah tidak memperhatikan keluarganya karena
kesibukannya sendiri.
Pada awalnya merasa kesal kepada
tokoh Rohayah karena dia telah merebut kebahagiaan keluarga orang lain, sedikit
demi sedikit menghancurkan keluarga yang memang sudah sedikt tidak harmonis
itu. Akan tetapi, di balik semua itu Rohayah pun memiliki sikap yang lembut dan
baik. Dia mau meningglkan Tono untuk kebahagiaan Tono.
Adanya rasa simpati terhadap tokoh
Sukartono karena ia mempunyai solidaritas kemanusiaan yang sanagt tinggi,
penolong dan sangat mencintai profesinya itu. Akan tetapi karena dia terlalu
sibuk, maka dia tidak memperdulikan perasaan istrinya yang selalu kesepian.
5.
Tema (Theme)
Tema dalam novel Belengggu adalah kehidupan
sosial. Novel
ini mengandung kritik sosial kepada para perempuan yang masih saja memandang
seseorang dari status sosialnya, seperti sikap Tini saat bertemu dengan
Rohayah. Selain itu sindiran juga terlihat pada bagian Tini yang sedang
digosipkan oleh teman-teman wanitanya. Seolah ingin menunjukkan bahwa masih
bannyak wanita yang hobi bergunjing.
Selain itu, ada juga gambaran bahwa
seorang yang berjuang demi kepentingan bangsa justru tidak dianggap menyusahkan
dan tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia.
Novel Belenggu menyimpan banyak makna yang mendalam disetiap konflik yang
dimunculkan. Kritik sosial yang tajam dalam kisah ini bisa menjadi sebuah
pembelajaran bagi para generasi muda dalam menjalani kehidupan yang terhegemoni
oleh sebuah sistm yang menindas dan semua itu berlaku terhadap semua orang,
baik tua-muda, kaya-miskin, dan juga pria-wanita.
C. Analisis
Unsur Intrinsik Novel Belenggu Karya Armijn Pane
sebagai Suatu Alternatif Bahan Ajar Apresiasi Sastra di Sekoahan
Berdasarkan hasil analisis yang telah penulis
laksanakan, novel Belenggu karya Armijn Pane dapat digunakan sebagai suatu alternatif
bahan pembelajaran apresiasi sastra di Sekolahan karena dalam novel tersebut banyak
terkandung pesan-pesan moral yang sangat
bermanfaat bagi pembacanya. Selain itu, novel ini pun memiliki cerita yang sangat menarik
dan dapat diterima oleh pembaca. Beberapa
konflik yang muncul bisa menimbulkan opini dalam masyarakat, bahwa apabila
sebuah kehidupan rumah tangga yang lahir
dibangun dari tiadanya rasa saling cinta antara suami istri, maka keluarga
tersebut tidak harmonis dan bahkan bisa terjadi perceraian. Alur ceritanya pun
dapat dengan mudah dicerna oleh para siswa Sekolahan sehingga apabila dijadikan bahan pembelajaran
di Sekolahan,
siswa pun tidak akan merasa kesulitan dalam memahami cerita tesebut.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berbahasa merupakan
kegiatan rutin yang dilakukan oleh manusia. Salah satu kegiatan komunikasi
tertulis adalah melalui kegiatan apresiasi. Kegiatan
mengapresiasi sastra merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan oleh pembaca untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik
yang terdapat dalam sebuah karya sastra yang dibacanya.
Dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dijelaskan bahwa pembelajaran apresiasi sangat
penting karena dengan mempelajari sastra maka akan memberikan nilai yang
positif bagi para pembacanya. Karya sastra yang termasuk dalam prosa fiksi
salah satunya adalah roman. Roman adalah cerita yang melukiskan kronik
kehidupan tokoh-tokoh yang rinci dan mendalam.
Unsur-unsur
intrinsik yang diapresiasi dalam karya sastra mencakup lapis bentuk dan lapis
makna yang terkandung dalam roman tersebut. Novel yang penulis analisis adalah novel
Belenggu karya Armijn Pane. Novel ini menceritakan kehidupan sosial dalam
lingkungan masyarakat. Di dalamnya terdapat pesan-pesan moral yang sangat
berguna bagi para pembacanya. Dalam membina suatu kehidupan rumah tangga
haruslah didasari dengan rasa cinta dan kasih sayang agar tercipta suatu hubungan
keluarga yang harmonis.
B. Saran
Sejalan dengan
simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai berikut:
1. Mahasiswa hendaknya memahami unsur-unsur intrinsik
yang terdapat alam sebuah novel.
2. Mahasiswa sebagai calon pengajar harus dapat menentukan bahan ajar yang akan
digunakan dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pusat Kurikulum. Departemen Pendidikan Nasional.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pane, Armjin. 1995. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat.
Tjahjono, L. T., 1988. Sastra Indonesia Pengantar Toeri dan Apresiasi. Flores: Nusa Indah.
Yandianto. 2004. Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Baru. Bandung: CV. M2S